Pertanyaan:
Ustadz, halalkah nafkah yang saya dapatkan dari suami yang bekerja sebagai Hakim Pengadilan Negeri, dimana hukum yang ada sekarang bukanlah hukum Islam? Dan standar utk memberikan putusan juga bukan/tidak berdasarkan ada hukum Islam? Sedangkan kita sebagai muslim dituntut untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum Islam? Dan bagaimana hukum dari bekerja sebagai Hakim itu sendiri? Mohon disertakan dengan dalil-dalilnya ustadz. Jazakumullah
Nisa
Alamat: Bengkulu Selatan
Email: [email protected]
Ustadz Musyaffa Ad Dariny, Lc. menjawab:
Terimakasih atas kepedulian anda menanyakan hukum syariat tentang masalah anda, semoga Allah selalu membimbing anda meniti jalan-Nya yang lurus, aamiiin.
Pertama: Hakim, jaksa, Qadhi adalah pekerjaan yang sangat berat dan beresiko dalam Islam, Rasulullah –shallallahu’alaihi wasallam– memperingatkan umatnya agar berhati-hati dalam mengemban amanat itu, renungkanlah sabda beliau:
القضاة ثلاثة واحد في الجنة واثنان في النار. فأما الذي في الجنة فرجل عرف الحق فقضى به ورجل عرف الحق فجار في الحكم فهو في النار ورجل قضى للناس على جهل فهو في النار [رواه أبو داود واللفظ له (3573) والترمذي (1322) وابن ماجه (2315) وصححه الألباني]
“Qadhi (penentu keputusan) itu ada tiga, satu di surga dan dua di neraka. Yang di surga adalah Qadhi yang tahu kebenaran lalu memberikan keputusan dengannya. Sedang Qadhi yang tahu kebenaran lalu zhalim dalam keputusannya, maka ia di neraka. Begitu pula, Qadhi yang memberi keputusan tanpa ilmu, ia di neraka” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, di-shahih-kan oleh Al Albani).
من ولي القضاء أو جعل قاضيا بين الناس فقد ذبح بغير سكين [رواه أبوداود (3571) والترمذي واللفظ له (1325) وابن ماجه (2308), قال الألباني: حسن صحيح]
“Barangsiapa dijadikan sebagai qadhi (penentu keputusan) diantara manusia, maka sungguh ia telah disembelih dengan tanpa menggunakan pisau (benda tajam)” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah. Al Albani mengatakan: ‘Hasan Shahih’).
Maksud kedua hadits ini adalah peringatan kepada umat islam agar ekstra hati-hati dalam mengemban amanat sebagai qadhi, bukan melarangnya sama sekali. Karena bagaimana pun juga qadhi (hakim) harus ada, untuk memberikan keputusan terhadap urusan manusia, berdasarkan aturan syariat Islam yang lengkap dan sempurna.
Kedua: Pekerjaan sebagai hakim (Qadhi) di negara yang tidak menerapkan syariat Islam, tidak dibolehkan oleh syariat, karena alasan berikut ini:
(a) Wajibnya seorang muslim berhukum dengan Syariat Islam dalam memutuskan perkara, sebagaimana firman-Nya:
وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ
“Apapun yang kalian perselisihkan, maka hukumnya (dikembalikan) pada Allah” (QS. Asy-Syura:10)
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
“Apabila kalian berselisih dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan (Sunnah) Rasul-Nya, jika benar kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhir” (QS. An-Nisa’:59)
Bahkan seluruh ulama’ Islam telah sepakat (Ijma’), kufurnya orang yang berhukum dengan selain syariat islam, jika disertai keyakinan bolehnya melakukan itu, padahal ia tahu ayat dan hadits yang melarangnya. (lihat Fatawa Lajnah Da’imah, no:1329)
(b) Dipastikan ia akan berhukum dengan selain syariat islam, padahal Allah telah berfirman:
(وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ)… (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ)… (وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ)
“Barangsiapa berhukum dengan selain hukum yang diturunkan-Nya (Syariat Islam), mereka itulah orang-orang fasiq” (QS. Al-Ma’idah: 47)… “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum yang diturunkan-Nya (Syariat Islam), mereka itulah orang-orang zhalim” (QS. Al-Ma’idah: 45)… “Dan barangsiapa berhukum dengan selain hukum yang diturunkan-Nya (Syariat Islam), mereka itulah orang-orang kafir” (QS. Al-Ma’idah: 44) (yakni kufur asghar, yang tidak mengeluarkan seseorang dari Agama Islam, jika ia masih berkeyakinan wajibnya berhukum dengan syariat islam, lihat lebih lanjut: Tafsir Ibnu Katsir, 3/119)
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
“Apakah Hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki?! Siapakah yang lebih baik (hukumnya) dari Allah, bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?!” (QS. Al-Ma’idah: 50)
Karena pekerjaannya haram, maka gaji yang didapat pun jadi haram, wallahu a’lam.
Ketiga: Insya Allah masih banyak pekerjaan lain yang mudah, halal, dan menghasilkan. Tapi jika terpaksa harus berkecimpung dengan dunia hukum, maka yang lebih aman dan selamat adalah posisi pengacara, asalkan ia membela yang benar dan menuntut yang salah menurut Islam.
Komisi tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa Saudi Arabia, yang diketuai Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan: “Adapun pengacara di negara yang memberlakukan UU buatan manusia yang bertentangan dengan syariat islam, maka:
(a) Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, -padahal ia tahu akan kesalahan itu- dengan memanfaatkan UU buatan manusia yang ada, maka ia kafir jika meyakini bolehnya hal itu atau menutup mata meski bertentangan dengan Alquran dan Assunnah. Sehingga gaji yang diambilnya pun haram.
(b) Setiap pembelaannya terhadap kesalahan, padahal ia tahu kesalahan itu, tapi ia masih meyakini bahwa tidakannnya itu haram, dan ia mau membelanya karena ingin mendapatkan bayaran darinya, maka ia telah melakukan dosa besar, dan bayaran itu tidak halal baginya.
(c) Adapun jika ia membela orang yang ia pandang di pihak yang benar sesuai dengan dalil-dalil syariat, maka amalnya berpahala, salahnya diampuni, dan berhak mendapat bayaran dari pembelaan itu.
(d) Begitu pula jika ia menuntut hak untuk saudaranya yang ia pandang berhak memilikinya, maka ia dapat pahala, dan berhak dengan bayaran sesuai kesepakatan yang ada” (Fatwa Lajnah Da’imah, fatwa no: 1329)
Jadi intinya, jika suami anda menjadi seorang pengacara, maka hendaklah ia memilih kasus orang yang berada pada posisi Iyang benar menurut Syariat Islam, lalu berusaha membelanya. InsyaAllah dengan begitu, ia mendapat pahala dunia dan akhirat.
Keempat: Nafkah yang anda dapatkan dari suami yang bekerja sebagai Hakim Pengadilan Negeri insyaAllah tetap halal, karena anda mendapatkannya dari cara yang halal, yaitu dari pemberian suami. Jadi dalam kasus seperti ini, gaji itu haram untuk suami, tapi ketika diberikan kepada anda, harta itu berubah menjadi halal.
Dalil dari pengambilan hukum ini adalah: Kaidah fikih yang berbunyi, “Pergantian sebab kepemilikan, itu seperti pergantian benda itu sendiri“. Jadi gaji suami anda itu haram bagi dia, karena sebab kepemilikannya berhukum dengan selain Syariat Islam, tapi halal ketika sampai ke tangan anda, karena sebab kepemilikannya hak nafkah seorang isteri. Mengapa demikian, karena dengan berubahnya sebab kepemilikan, benda itu dianggap telah berubah sama sekali, dan karena benda itu telah berubah, maka hukumnya pun jadi berubah. Wallahu a’lam.
Sandaran dari kaidah di atas adalah hadits Nabi –shallallahu alaihi wasallam-:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبُرْمَةٌ عَلَى النَّارِ فَقُرِّبَ إِلَيْهِ خُبْزٌ وَأُدْمٌ مِنْ أُدْمِ الْبَيْتِ فَقَالَ أَلَمْ أَرَ الْبُرْمَةَ فَقِيلَ لَحْمٌ تُصُدِّقَ بِهِ عَلَى بَرِيرَةَ وَأَنْتَ لَا تَأْكُلُ الصَّدَقَةَ قَالَ هُوَ عَلَيْهَا صَدَقَةٌ وَلَنَا هَدِيَّةٌ (متفق عليه واللفظ لمسلم)
“Dari Aisyah radhiallahu ‘anha: (Suatu hari) Rasulullah -shallallahu alaihi’wasallam- masuk rumah, dan (melihat) periuk di atas perapian. Lalu disuguhkan kepada beliau roti dan lauk yang biasa ada di rumah. Maka beliau bertanya: “Bukankah aku lihat periuk (yang berisi daging)?!” Ada yang menjawab: “Itu daging yang disedekahkan kepada Bariroh (kemudian dihadiahkan ke kita), padahal engkau tidak memakan barang sedekah!”. Maka beliau mengatakan: “Daging itu sedekah untuknya, tapi jadi hadiah untuk kita”. (HR. Bukhari-Muslim, dengan redaksinya Muslim).
Lihatlah bagaimana daging itu berubah hukum, dari barang sedekah menjadi barang hadiah. Dari barang yang asalnya haram untuk Beliau, menjadi halal. Sebabnya adalah perubahan sebab kepemilikan.
Kelima: Meski demikian, anda harus mengingkari kemungkaran yang ada, dengan mengingatkan suami agar mau beralih ke profesi lain yang lebih baik dan selamat. Meski memakan harta pemberian suami dari berhukum dengan selain Syariat Islam itu halal bagi anda, tapi jika anda bisa menjauhinya maka itu lebih baik dan lebih selamat. Tentunya kita tahu bahwa keberkahan harta hanya ada pada harta yang sumbernya halal.
Keenam: Yang terakhir, hendaklah kita yakin bahwa:
(a) Barangsiapa bertakwa pada Allah, pasti Dia takkan menyia-nyiakannya, dan Dia akan memberikan jalan keluar dari setiap masalah yang menghimpitnya, sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa pada Allah, pasti Dia akan memberikan solusi baginya, dan Dia akan memberinya rizki tanpa diduga-duga” (QS. At-Thalaq:2-3)…
(b) Semua jatah rizki pasti akan sampai kepada orangnya, jadi jangan takut dengan taat kepada-Nya rizki anda akan berkurang, Ingatlah sabda Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-: “Sungguh Malaikat jibril telah membisikkan padaku, bahwa setiap individu tidak akan mati sehingga sempurna ajalnya dan mengambil semua rizkinya. Oleh karena itu bertakwalah kepada Allah dan berdoalah yang baik, dan janganlah lambatnya rizki menjadikannya menempuh jalan maksiat pada Allah, karena apa yang di sisi-Nya takkan diraih kecuali dengan jalan taat pada-Nya” (HR. Abu Nu’aim dan yang lainnya, di-hasan-kan oleh Albani, di silsilah shohihah, hadits no: 2866)
(c) Yakinlah bahwa ta’at adalah sebab bertambahnya rizki, keberkahan dan keselamatan dunia akhirat.
Allah berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“Andaikan penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al-A’raf:96).
Dia juga berfirman:
وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, Niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan Dia akan memberinya rizki dari arah yang tak terduga” (QS. At-Thalaq:2-3).
Ingat pula ucapan Nabi Nuh kepada kaumnya yang diceritakan dalam Alqur’an:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ
“Istighfar-lah kalian, karena sungguh Dia itu maha pengampun! (Jika kalian mau melakukannya) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit, memperbanyak harta dan anak kalian” (QS. Nuh: 10-12).
Dan yang terakhir, ingatlah pesan Nabi Musa dalam ayat ini:
اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا ۖ إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ ۖ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ
“Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini milik Allah, Dia memberikannya kepada siapa saja hamba yang dikehendaki-Nya. Dan akhir yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-A’raf:128)
Wallahu A’lam. Sekian jawaban dari kami, semoga bermanfaat
Wassalam.
Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Dariny, Lc
Artikel UstadzKholid.Com
🔍 Hukum Cerai Ketika Hamil Dalam Islam, Cara Taubat Kepada Allah, Perbedaan Iman Islam Dan Ihsan, Kaligrafi Halal, Sedekah Menurut Islam, Doa Abis Sholat